Senin, 13 Maret 2023

Puasa Ular VS Puasa Ulat

Oleh : Romo Antonius Gunardi Prayitna, MSF


Pada momen refleksi diri di masa Pra Paskah ini, ada baiknya kita memahami apa yang dikehendaki Tuhan Yesus atas puasa dan pantang yang kita lakukan selama ini.  Apakah puasa dan pantang itu membawa perubahan yang positif ataukah hanya ritual tahunan?

Inspirasi cerita mengenai 'puasa seekor ular dan ulat' bisa memperjelas pemahaman kita mengenai keinginan Tuhan atas ritual puasa dan pantang kita.  Seekor ular, ketika berpuasa maka dia akan berdiam diri sampai suatu saat sisik-sisik atau kulitnya mengelupas dan berganti baru (orang Jawa bilang mlungsungi), kemudian mewujudlah dia menjadi ular dengan kulit baru.  Tetapi kulit barunya ternyata sama saja dengan kulit yg lama. Perangai ular juga tetap sama, makanannya tetap daging binatang-binatang yang dimangsa.  Dia tetap rakus dan ganas terhadap apa yang dianggap musuh.

Sedangkan puasa seekor ulat berbeda.  Setelah berdiam diri selama 15 - 20 hari, maka dia berubah menjadi kepompong.  Tidak selesai sampai disitu ulat yang berubah jadi kepompong itu tetap harus berdiam diri selama berminggu-minggu hingga dia bertransformasi menjadi kupu-kupu.  Saat masih menjadi ulat memang makannya daun-daunan, bentuknya pun sangat menjijikkan.  Namun setelah berpuasa dan berubah wujud, maka dia menjadi kupu-kupu yang indah.  Makanannya pun sekarang sari-sari bunga dan yang terpenting, dia malah membantu penyerbukan tanaman.  Keberadaan kupu-kupu sangat membantu manusia, terutama para petani.

Dari ilustrasi cerita ini, sangat diharapkan puasa kita menyerupai ulat.  Aktivitas puasanya sungguh berdampak positif, menjadikannya kupu-kupu yang indah dan bermanfaat.  Momen puasa benar-benar ketemu dengan tujuannya, ketika kita bisa bertransformasi menjadi "manusia baru" yang lebih baik. Berguna bagi mahluk lain, menjadi berkat bagi sesama.  Kalau puasa kita meniru sang ular, maka kita tetap menjadi "manusia lama", tidak ada perubahan sama sekali.  Puasa kita menjadi tidak berguna dan hanya merupakan kegiatan ritual tahunan tanpa arti.

Maka marilah kita melihat diri kita saat berpuasa, apakah seperti sang ular ataukah sudah seperti si ulat yang semula menjijikkan tapi berubah menjadi kupu-kupu indah yang bermanfaat?  Apakah setelah berpuasa dan berpantang nanti --setelah kita mendapat berkat dengan Kebangkitan Tuhan-- kita bisa bertransformasi menjadi manusia yang lebih baik?  Hidup kita berkenan di hadapan Tuhan, keberadaan kita bisa menjadi berkat bagi sesama, baik di lingkungan masyarakat sekitar, di lingkungan sesama umat Kristus, dan juga bagi gereja kita. Keluarga-keluarga kita juga semakin berkualitas dalam iman dan kehidupan.

Semoga masa puasa dan pantang kita kali ini, menjadi momen transformasi kita menjadi "manusia baru".  Dimanapun kita berada, selalu membawa terang, damai, kegembiraan bagi sesama.  Hidup kita menjadi lebih berguna bagi seluruh alam semesta, selalu menjadi berkat bagi orang lain, bagi keluarga, bagi Gereja Allah.  Perubahan inilah yang dikehendaki Tuhan bagi diri kita.  Seperti puasa si ulat yang bertransformasi menjadi kupu-kupu..***

(Disarikan dari kotbah Romo Antonius Gunardi Prayitna, MSF pada misa hari Sabtu, 11 Maret 2023, di gereja Santo Yusuf - Paroki Pati)